Jumat, 27 Agustus 2010

Target Puasa Tahun Ini: Ketaqwaan dan Kemakmuran

Pada bulan Ramadhan seperti ini, ayat yang paling banyak kita dengar dari ceramah-ceramah adalah ayat “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS 2:183). Lantas sekian puluh tahun kita berpuasa di bulan Ramadhan, adakah kita sudah mencapai derajat orang-orang yang bertakwa ini ?.

Mungkin hanya diri kita sendiri yang bisa menjawabnya; namun untuk menjawab ini kita butuhkan tolok ukur yang baku tentang siapa orang-orang yang bertakwa ini. Tolok ukur yang baku ini ada di 6 ayat sebelum ayat tersebut diatas yaitu QS 2 : 177 tepatnya berbunyi “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Secara individu diantara 235 juta penduduk Indonesia, sangat mungkin ada sekian juta orang yang mencapai atau mendekati derajat takwa – namun secara nasional nampaknya derajat ketakwaan ini masih rendah. Mengapa demikian ?, perhatikan tulisan saya sebelumnya “Jalan Mendaki Lagi Sukar...” yang didalamnya terdapat statistik bahwa rata-rata penduduk Indonesia ternyata tergolong miskin berdasarkan standar nishab zakat.

Kalau rata-rata miskin, lantas siapa yang bisa memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya ?. Lha wong sama-sama miskin, lebih banyak yang sama-sama berhak diberi ketimbang yang memberi.

Perhatikan salah satu kata kunci “memberi...” untuk mencapai “...orang-orang yang bertakwa” dalam ayat diatas, artinya adalah diperlukan derajat kemakmuran sedemikian rupa bagi bangsa ini sehingga rata-rata penduduknya berpenghasilan lebih besar dari nishab zakat. Bila sekarang rata-ratanya hanya sekitar 82.5% dari nishab zakat, maka diperlukan kenaikan PDB per Kapita sekitar 21% dari angka sekarang agar rata-rata penduduk negeri ini masuk kategori orang yang bisa memberi.

PDB per kapita adalah Produk Domestik Bruto (PDB) dibagi dengan jumlah penduduk. PDB sendiri adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Jadi untuk menaikkan PDB per Kapita minimal 21 % dari kondisi yang ada, diperlukan kenaikan dengan persentasi yang sama untuk PDB secara nasional.

Lantas bagaimana kita bisa secara bersama-sama meningkatkan PDB yang merupakan representasi dari kemakmuran ini ?. Pertama kita harus tahu apa-apa yang bisa menaikkan PDB dan apa-apa yang menurunkannya. Salah satu pendekatan perhitungan PDB adalah menggunakan pendekatan pengeluaran sebagai berikut:


Ketika orang-orang yang kaya memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, maka kemungkinannya adalah harta tersebut akan dikonsumsi – karena inilah kebutuhan utama bagi orang yang tidak mampu. Ketika konsumsi meningkat – maka PDB akan meningkat.

Tetapi nanti dulu, bila  barang-barang yang dikonsumsi oleh penduduk tersebut ternyata adalah produk impor atau produk yang bahan bakunya impor; bersamaan dengan konsumsi naik – maka impor-pun naik sehingga PDB belum tentu meningkat. Karena nilai impor menjadi faktor pengurang dalam perhitungan PDB tersebut diatas, maka semakin besar impor – semakin rendah PDB atau semakin miskinlah kita semua.

Inilah problem di kita. Ketika kita membagi-bagikan makanan dalam berbagai kesempatan, kita sering membagi-bagikan mie instant yang berbahan baku terigu – yang mayoritasnya berbahan baku impor. Ketika kita membagi pakaian, pakaian tersebut terbuat sebagian besarnya dari kapas. Kapas yang dipakai untuk memproduksi pakaian-pakaian kita 99.5%-nya adalah impor.

Jadi, selagi ketergantungan kita begitu besar pada sandang dan pangan yang berbasis bahan baku impor – maka PDB tersebut menjadi sulit terangkat. Setiap kali konsumsi meningkat, impor juga meningkat.

Maka yang diperlukan berikutnya adalah diperbanyak investasi untuk mengolah potensi-potensi yang ada di sekitar kita – yang ada di negeri ini – minimal untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Diperlukan pula pengeluaran pemerintah yang mendorong atau memfasilitasi investasi tersebut. Investor yang mengolah bahan baku lokal harus dipermudah dengan kemudahan peraturan dan fasilitas, agar PDB terangkat.

Investasi dan pengeluaran pemerintah hendaknya di fokuskan untuk mencari solusi pengganti dari ketergantungan produk atau bahan baku impor. Bila selama ini kita diserbu oleh bahan baku pangan berupa terigu yang harus diimpor misalnya, mengapa tidak didorong usaha-usaha yang meng-eksplorasi bahan pangan local seperti jamur, tepung pisang, tepung garut, sagu, mocaf (modified cassava flour) dlsb. ?.

Demikian juga untuk sandang, Indonesia hanya sedikit sekali produksi kapasnya – hanya sekitar 0.5% dari kebutuhan. Lantas mengapa tidak difokuskan mencari bahan baku sandang yang tidak tergantung pada kapas yang harus diimpor 99.5%-nya, kita ganti dengan serat dari gedebog pisang yang tumbuh dengan mudah di seluruh negeri misalnya.

Dengan kita menyadari apa-apa yang meningkatkan PDB dus meningkatkan pula PDB per kapita atau kemakmuran tersebut diatas – dan apa-apa pula yang menurunkannya; maka insyallah kita bisa berbuat searah dengan upaya peningkatannya – dan bukan sebaliknya.

Tentu hal ini tidak ada yang mudah dan inilah “Jalan Mendaki Lagi Sukar...” itu; juga tidak akan terjadi secara instant, perlu kerja keras bertahun-tahun dengan mensinergikan seluruh elemen umat. Namun bila kita tidak mulai-nya dari sekarang,  sulit membayangkan kapan kemakmuran akan datang kepada umat ini ?.


Maka melalui ibadah puasa kita tahun ini, marilah kita berlomba mencapai derajat takwa yang sesungguhnya, derajat takwa yang membawa kita untuk mampu “memberi...”, derajat takwa yang memakmurkan !. Insyaallah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar